
APBI memprotes kebijakan larangan ekspor batubara yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM jelang akhir tahun 2021. Langkah itu dinilai terlalu tergesa-gesa dan tanpa pembahasan dengan para pelaku industri batubara. Oleh sebab itu, APBI mendesak Menteri ESDM untuk mencabut surat tersebut.
“Terkait dengan kebijakan yang diambil secara tergesa-gesa dan tanpa dibahas dengan para pelaku usaha, kami menyatakan keberatan dan meminta kepada Menteri ESDM untuk segera mencabut surat tersebut,” kata Ketua Umum APBI-ICMA, Pandu Sjahrir, dilansir dari keterangan tertulis yang diterima majalah Equipment Indonesia pada Sabtu (1/1/2022). APBI sudah mengirim surat keberataan resmi kepada Menteri ESDM per tanggal 1 Januari 2022 yang ditembuskan kepada beberapa Menteri terkait.
Sebagaimana diketahui, memasuki tahun baru 2022, para pelaku usaha pengekspor batubara dikejutkan dengan adanya kebijakan larangan ekspor batubara berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM atas nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor B1605/MB.05/DJB.B/2021 tertanggal 31 Desember 2021 perihal Pemenuhan Kebutuhan Batubara untuk Kelistrikan Umum.
Inti dari surat itu adalah Pemerintah mengambil kebijakan melarang penjualan batubara ke luar negeri sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Januari 2022 secara umum dan menyeluruh yang diakibatkan karena adanya laporan dari PLN perihal kondisi persediaan batubara di PLTU grup PLN yang sangat rendah berdasarkan surat dari PLN tertanggal 31 Desember 2021.
Berikut ini beberapa alasan keberatan yang disampaikan APBI kepada Kementerian ESDM:
- Solusi untuk mengatasi kondisi kritis persediaan batubara PLTU grup PLN termasuk IPP ini seharusnya dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan para pelaku usaha untuk menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak.
- Penerapan sanksi larangan ekspor kepada seluruh pelaku usaha pada tanggal 1 Januari 2022 dalam rangka pemenuhan DMO 2022 tidaklah tepat karena seharusnya pelaksanaan DMO 2022 dihitung dari bulan Januari 2022 sampai dengan Desember 2022.
- Pasokan batubara ke masing-masing PLTU, baik yang ada di bawah manajemen operasi PLN maupun IPP, sangat bergantung pada kontrak-kontrak penjualan atau pasokan batubara antara PLN dan IPP dengan masing-masing perusahaan pemasok batubara serta praktek implementasi ketentuan yang sebelumnya telah disepakati dalam kontrak-kontrak tersebut dalam hal terjadi wanprestasi atau kegagalan pemenuhan pasokan.
- Anggota APBI-ICMA telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batubara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% di tahun 2021. Bahkan sebagian perusahaan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut.
- Anggota APBI-ICMA pun selama ini juga senantiasa patuh menjalankan kebijakan harga patokan maksimal untuk pasokan batubara dalam negeri kepada PLTU PLN dan IPP.
- APBI dan anggota-anggotanya mendukung penuh Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021, khususnya Diktum Keempat ayat a, yang melarang penjualan batubara ke luar negeri sampai dengan pemegang IUP “memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri sesuai persentase penjualan atau sesuai dengan kontrak penjualan, kecuali bagi yang tidak memiliki kontrak penjualan dengan pengguna batubara di dalam negeri atau spesifikasi batubaranya tidak memiliki pasar dalam negeri”.
APBI menilai larangan ekspor yang berlaku secara umum dan meluas ini akan memiliki dampak signifikan terhadap industri pertambangan batubara secara umum dan aktivitas ekspor batubara secara khusus yang sedang digalakkan oleh Pemerintah saat ini sebagai salah satu penghasil devisa utama bagi negara.
Dampak larangan ekspor batubara
Apa dampak kebijakan larangan ekspor ini? Menurut APBI, kebijakan larangan ekspor akan memiliki beberapa dampak sebagai berikut:
- Volume produksi batubara nasional akan terganggu sebesar 38-40 juta MT per bulan;
- Pemerintah akan kehilangan devisa hasil ekspor batubara sebesar kurang lebih US$ 3 milyar per bulan;
- Pemerintah akan kehilangan pendapatan pajak dan non pajak (royalti) yang mana hal ini juga berdampak kepada kehilangan penerimaan pemerintah daerah;
- Arus kas produsen batubara akan terganggu karena tidak dapat menjual batubara ekspor;
- Kapal-kapal tujuan ekspor, hampir semuanya adalah kapal-kapal yang dioperasikan atau dimiliki oleh perusahaan negara-negara tujuan ekspor. Kapal-kapal tersebut tidak akan dapat berlayar menyusul penerapan kebijakan pelarangan penjualan ke luar negeri ini yang dalam hal ini perusahaan akan terkena biaya tambahan oleh perusahaan pelayaran terhadap penambahan waktu pemakaian (demurrage) yang cukup besar (US$20,000 – US$40,000 per hari per kapal) yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor yang juga akan berdampak terhadap penerimaan negara;
- Kapal-kapal yang sedang berlayar ke perairan Indonesia juga akan mengalami kondisi ketidakpastian dan hal ini berakibat pada reputasi dan kehandalan Indonesia selama ini sebagai pemasok batubara dunia;
- Deklarasi force majeur secara masif dari produsen batubara karena tidak dapat mengirimkan batubara ekspor kepada pembeli yang sudah berkontrak sehingga akan banyak sengketa antara penjual dan pembeli batubara;
- Pemberlakuan larangan ekspor secara umum akibat ketidakpatuhan dari beberapa perusahaan akan merugikan bagi perusahaan yang patuh dan bahkan seringkali diminta untuk menambal kekurangan pasokan;
- Menciptakan ketidakpastian usaha sehingga berpotensi menurunkan minat investasi di sektor pertambangan mineral dan batubara.
Menurut APBI, sebagai mitra Pemerintah, pihaknya senantiasa mendukung kebijakan dan peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah. Tetapi APBI berharap agar dapat dilibatkan atau paling tidak diminta klarifikasi jika terdapat keluhan yang dialami oleh pihak pengguna batubara domestik, termasuk PLN.
APBI juga berharap agar pemerintah fokus pada upaya mencari solusi-solusi permanen penyelesaian permasalahan struktural pasokan batubara domestik. Asosiasi ini mengaku sudah beberapa kali menyampaikan secara resmi usulan baik untuk jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang.
Adapun beberapa rekomendasi APBI sebagai berikut:
- Rekomendasi prioritas untuk jangka pendek:
- Perlu diambil tindakan tegas kepada para pemasok yang wanprestasi, termasuk kepada anak-anak perusahaannya;
- Perlu mekanisme pemantauan (monitoring) pemenuhan DMO secara berkala (setiap triwulan);
- Besaran persentase DMO perlu disesuaikan dengan kebutuhan domestik yang riil/akurat;
- DMO untuk perusahaan yang melebihi kewajibannya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang masih kurang belum memenuhi kewajibannya (secara cluster/group) tanpa ada biaya transfer;
- Harga jual batubara sebaiknya mengikuti harga pasar untuk menghindari disparitas.
- Rekomendasi bagi pihak PLN:
- PLN perlu lebih fleksibel untuk mengambil batubara di luar kualitas yang dibutuhkan (off-spec) saat ini, dengan cara blending atau co-firing. PLN perlu segera merealisasikan fasilitas blending;
- Perhitungan kebutuhan batubara dibuat secara akurat, tepat dengan memperhatikan safety stock, memenuhi komitmen seperti yang tertuang dalam kontrak (volume dan tata waktu pengiriman);
- Rekomendasi kebijakan untuk jangka menengah;
- Dalam hal terjadi kelangkaan pasokan, pihak PLN dapat mengambil batubara dari bagian pemerintah dalam bentuk “in-kind”
APBI berharap Pemerintah, cq Kementerian ESDM, dapat segera menyelesaikan permasalahan ini demi pertumbuhan industri batubara nasional sebagai salah satu sumber devisa andalan Indonesia.