

Salah satu peraturan yang paling ditunggu-tunggu para pelaku usaha di sektor pertambangan saat ini adalah aturan turunan dari UU Minerba yang baru. Seperti diketahui, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ditandatangani pada 10 Juni 2020. Dengan demikian, sudah lebih dari setahun UU yang mengatur kegiatan di sektor pertambangan mineral dan batu bara ini berlaku. Namun, pelaksanaannya belum bisa optimal karena sampai sekarang belum ada aturan turunan yang lebih teknis.
Padahal, amanat UU itu, aturan turunan harus sudah ada paling telat setahun. Aturan turunan ini berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden yang kemudian diturunkan lagi ke strata yang lebih rendah seperti Permen ESDM dan lainnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin, memastikan satu Peraturan Pemerintah akan segera disahkan. Dari UU Minerba yang baru, direncanakan akan ada tiga PP dan satu Peraturan Presiden (Perpres).
“Yang paling maju adalah PP tentang pengusahaan. Statusnya, semua Menteri sudah paraf dan sudah ada di tangan Presiden. Tinggal tunggu Presiden tanda tangan,” terang Ridwan Djamaluddin dalam diskusi bertajuk Satu Tahun UU Minerba: RPP Minerba dan Kepastian Berusaha Pertambangan baru-baru ini.
Ridwan mengakui perumusan PP sebagai regulasi turunan terbilang lambat. Ia mengatakan pada November 2020 pihaknya sudah siap menerbitkan satu PP. Namun ternyata ada tiga pokok isu yang belum sepakat. “Tetapi sekarang sudah selesai semua,” tandasnya.
Ia kemudian menjelaskan salah satu isu yang menjadi bahan diskusi alot, yakni soal perusahaan yang baru masuk ke industri pertambangan harus punya keterkaitan dengan perusahaan yang sudah lama berkecimpung di dunia pertambangan.
“Alasannya, kita tidak ingin agar perusahaan abal-abal masuk industri pertambangan. Itu agak lama diskusinya karena sebagian orang menganggap ini seperti menutup peluang pemain baru masuk ke industri pertambangan. Itu yang agak lama pembahasannya,” terang Ridwan.
Sementara dua PP lainnya, yakni PP tentang wilayah pertambangan serta PP tentang pembinaan dan pengusahaan sedang dalam proses harmonisasi.
“Artinya, substansi sudah dibicarakan antar kementerian. Harusnya tidak ada masalah yang substansial. Kemudian PP pembinaan dan pengawasan sedang dalam proses pembahasan panitia antar Kementerian,” lanjut Ridwan.
Dalam Perpres ini salah satu muatannya membahas soal rencana pendelegasian kewenangan ke pemerintah daerah. “Dalam beleid ini nantinya akan diatur terkait pendelegasian kewenangan perizinan ke pemerintah provinsi yang mencakup dua topik besar, yakni Galian C dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Sudah selesai harmonisasi, namun yang agak alot adalah materi yang terkait dengan Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Ridwan.
Staf Khusus Menteri ESDM, Irwandy Arif mengatakan proses RPP butuh waktu sangat lama karena harus mendapat paraf dari semua Kementerian terkait. Paraf terakhir sudah didapat dari Menteri Keuangan tanggal 9 Juni 2021. “Proses semua paraf tersebut sempat diulang, karena ada perubahan dari Sekretariat Negara (Setneg), meskipun perubahannya minor,” terang Irwandy yang juga Ketua Indonesia Mining Institute (IMI).
Ia juga menegaskan bahwa pertambangan di Indonesia harus berkelanjutan dan transparan. Berkelanjutan secara tata kelola cadangan, eksploitasi/produksi, lingkungan, sosial, ekonomi serta ketersediaan dan kebutuhan jangka Panjang. Sementara transparan artinya publik dapat mengakses informasi mengenai cadangan, kandungan mineral dan pemanfaatan hasil tambang untuk pasar atau sektor lainnya.