Equipment APP.
Business Mining Top News

Konsolidasi PAABI Merespon Gejolak Harga Batubara

Bagaimana PAABI (Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia) merespons berbagai perkembangan terkini di bisnis distribusi alat berat, termasuk gejolak harga komoditas batubara dan tren elektrifikasi.

Anggota-anggota PAABI berfoto bersama seusai acara. Foto: EI

Harga batubara yang terus anjlok sepanjang 2023 tidak hanya berimbas pada menurunnya pendapatan perusahaan-perusahaan pertambangan batubara, tetapi juga mencemaskan hampir semua stakeholder di sektor industri pertambangan batubara, termasuk perusahaan-perusahaan distributor alat berat dan dealer-dealer mereka. Hanya saja, mereka masih memilih untuk bersikap wait and see. Satu harapan mereka, harga batubara akan rebound (berbalik arah) hingga akhir tahun nanti.

Apa yang terjadi pada tahun ini memang berbeda sekali dengan kondisi tahun 2022. Tahun lalu, komoditas batubara mengalami booming. Harganya melambung tinggi. Bayangkan, harga tertinggi batubara pernah menyentuh angka 458,05 dolar Amerika Serikat per ton pada 5 September 2022. Akibatnya, penjualan batubara, termasuk alat-alat berat untuk sektor yang satu ini, mengalami kenaikan signifikan. Rejeki pun mengalir ke semua sektor terkait.

Namun, kondisi itu bergerak sebaliknya sejak Oktober 2022 hingga saat tulisan ini dibuat. Harga batubara terus menurun secara konsisten hingga semester pertama usai, meskipun dalam beberapa hari terakhir, harga batubara sedikit mengalami kenaikan. Pada Selasa 27 Juni 2023, misalnya, harga batubara (Newcastle) sudah menyentuh angka 127,9 dolar Amerika Serikat per ton. Angka ini naik tipis dari posisi 124,5 dolar Amerika Serikat per ton pada 21 Juni 2023. Artinya grafik harga batubara dalam satu pekan terakhir Juni 2024 bergerak menanjak. 

Hanya saja, belum diketahui apakah ini sebuah pembalikan arah untuk jangka panjang atau hanya pergerakan sesaat belaka. Namun, diyakini, kenaikan ini terkait dengan perubahan kebijakan di China sebagai pasar ekspor terbesar batubara Indonesia. Tentu para pelaku usaha berharap, pergerakan harga ini berlangsung untuk jangka panjang. Itu sebabnya, Ketua Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia (PAABI) Etot Listyono dalam Rapat Anggota PAABI 2023 serta wawancara khusus dengan Majalah Equipment Indonesia setelah acara itu pada Senin 26 Juni lalu di Cakung, Jakarta Timur, mengungkapkan bahwa mereka lebih memilih posisi wait and see. Menunggu perkembangan harga batubara hingga akhir tahun.

“Mengenai bisnis alat berat sendiri, relatively sangat bagus dengan kondisi di nikel dan batubara. Di mining tumbuh luar biasa sejak tahun lalu. Bukan berarti kita berdoa perangnya (Perang Ukraina-Rusia) berlanjut terus. Tetapi kebutuhan alat berat di tambang lumayan besar. Tetapi untuk sektor ini, akhir-akhir ini sudah mulai turun harganya. Harga batubara sudah mulai turun. Biasanya mengacu pada Newcastle Index,” kata Etot. 

Menyusul penurunan harga batubara tersebut, kata Etot, para agen tunggal alat berat harus mulai melihat seperti apa tren batubara ke depan. Di tengah kerisauan menurunnya harga batubara, mereka tetap optimistis, harga batubara akan berbalik arah dan kembali ke puncak. Bahkan melebihi tahun lalu.

Dalam menyikapi harga batubara yang terus menurun itu dan dampaknya pada bisnis alat berat, ada tiga hal yang mereka jadikan patokan. Pertama, dan ini yang terpenting, yaitu melihat sisi supply and demand. Apakah produksi dalam negeri dan permintaan pasar batubara, terutama China, masih stabil atau tidak. Selama supply and demand tidak mengalami revisi, maka industri pertambangan, khususnya batubara, masih boleh menaruh harapan yang tinggi.

“Kita melihat satu yang harus dianalisa, yaitu kondisi demand dan supply batubara sendiri. Produksi dan kebutuhan dalam negeri serta ekspor berapa. Apakah ada revisi di situ. Jadi, kita tidak hanya melihat harga batubara, tetapi pada sisi supply and demand batubaranya. Berapa ekspor, berapa produksi. Plus saat ini, yang paling banyak adalah ekspor ke China. Terus China sendiri sekarang berapa produksinya, berapa stoknya, berapa impornya. Kalau misalkan itu masih stabil, masih sama, artinya apa? Produksi batubara di Indonesia masih sama,” jelas Etot. 

Menurut dia, dari total produksi batubara Indonesia, hanya 25 persen yang diserap pasar dalam negeri. Dan, dia yakin untuk kebutuhan 25 persen dalam negeri tersebut bisa terpenuhi. Paling besar justru untuk ekspor. Dan, pasar utama ekspor batubara dari Indonesia adalah China. Karena itu, sangat penting melihat kondisi pasar China. 

Selain itu, yang juga harus diperhatikan adalah supply and demand batubara Australia. Pasalnya, Australia juga menjadi salah satu pemasok utama batubara untuk China. Selama supply dan demand di Australia tidak mengalami gangguan dan revisi target, maka industri pertambangan batubara masih boleh optimistis.

 Karena itu, menghadapi penurunan harga batubara saat ini, mereka masih terus melihat dan memantau seberapa signifikan penurunan tersebut. “Karena itu, optimis yang kami maksud dalam arti, signifikan nggak turunnya (penurunan harga batubara). Itu juga harus kita lihat,” ujarnya.

Sampai saat ini, PAABI melihat bahwa belum ada revisi dari sisi supply and demand ekspor terutama di pasar China. Hingga saat ini, China juga tidak mengambil kebijakan penundaan impor. Sebab, bila China mengambil kebijakan seperti itu, maka dampaknya akan sampai ke Indonesia dan juga Australia. “Karena China produksinya dari Indonesia sama Australia. Kita juga lihat Australia seperti apa. So far, sampai saat ini, meskipun harga batubara turun, itu belum ada indikasi,” ujar Etot.

Kedua, berapa harga terendah yang dapat ditoleransi oleh perusahaan-perusahaan atau pemilik IUP pertambangan. Artinya, bila harga batubara menyentuh angka 40 dolar Amerika Serikat per ton, mungkin para pemilik pertambangan itu menghentikan produksi. Bila ini yang terjadi, tentu saja, akan berdampak sangat signifikan pada bisnis alat berat. 

Ketiga, apakah para pemilik pertambangan masih melakukan ekspansi atau tidak. Di tengah penurunan harga batubara, apakah mereka membuka pertambangan baru atau tidak. “Alat berat di mining itu kebanyakan dipakai untuk pekerjaan overburden. Bukan untuk coal hauling. Di batubara, kalau harga terus turun, dia tidak akan expand. Tidak akan membuka lahan baru. Jadi, ada tiga komponen yang kita lihat,” ujar Etot lagi.

Terlepas dari ketiga hal itu, Etot mengungkapkan bahwa pada Q1 (Kuartal Pertama) 2023, memang sudah ada satu dua pemilik pertambangan yang merevisi stream length ratio-nya. Dengan menurunkan stream length ratio, maka perusahaan tersebut tidak dapat melakukan ekspansi.

 “Jadi, stream ratio-nya, misalkan dari 11 menjadi 8. Itu juga akan menyebabkan pengurangan alat berat. Saya tidak bicara jumlahnya ya. Tetapi ada yang menurunkan stream ratio-nya. Saya tidak perlu menyebut nama bohirnya. Tetapi ada yang merevisi. Namun, secara umum, kita masih wait and see dulu,” jelasnya.

Sementara itu, saat ditanya tentang komitmen PAABI terkait dengan tuntutan akan alat-alat pertambangan yang ramah lingkungan, Etot menjelaskan bahwa masing-masing prinsipal sudah memiliki peta jalan masing-masing. Namun yang paling penting adalah kesiapan regulasi dan infrastruktur pemerintah, serta kesiapan model bisnis. Sebab alat-alat elektrik ini harganya akan jauh lebih mahal daripada alat-alat konvensional.

Menurut Etot, ada dua hal yang perlu dilihat terkait tuntutan akan alat-alat elektrik di industri pertambangan. Pertama, produknya. “Saya yakin masing-masing prinsipal punya road map. Hitachi, misalnya, punya roadmap. Itu pasti. Produk itu kan rely on ke manufaktur ya, ke prinsipal. Tanpa diminta pun mereka sudah buat karena ini isu global, bukan hanya di Indonesia. Cuma kapannya, masing-masing punya road map. Ada yang 2030, dengan hybrid. Pada 2050 sudah zero emission mungkin sudah elektrik, sudah hydrogen. Saya kira masing-masing punya road map,” jelasnya.

Kedua, soal operasional. Pasalnya, semua prinsipal berpikir tentang bagaimana mengurangi kebutuhan dan konsumsi solar. “Karena membersihkan lingkungan, tidak mungkin tanpa mengurangi konsumsi solar. Sambil tunggu alatnya ready, dari sisi operasionalnya harus melakukan sesuatu untuk menurunkan konsumsi bahan bakar,” jelasnya lagi.

Menurut dia, tantangan untuk Indonesia saat ini justru ada pada pemerintah. Sebab, pemerintah harus menyiapkan infrastruktur dan tentu saja regulasi guna mewujudkan misi zero emission pada 2050. Pemerintah harus berkejaran dengan waktu dalam menyiapkan semua infrastruktur yang dibutuhkan untuk alat-alat listrik di sektor pertambangan. Sebab, bila infrastruktur sudah siap, maka alat tinggal menyusul.

Apalagi, pihak manufaktur alat-alat berat sebetulnya sudah merancang alat-alat elektrik ini. Bahkan sejumlah manufaktur sudah memproduksinya. Namun, alat-alat ini khusus untuk negara dan pasar yang jauh lebih siap, baik karena infrastruktur yang sudah tersedia maupun pasar yang mau dan mampu membeli alat-alat elektrik yang harganya bisa tiga sampai empat kali lebih mahal dari yang biasa.

Sehubungan dengan itu, PAABI melihat, Indonesia akan sedikit lebih terlambat dibanding negara-negara lain dalam mewujudkan misi zero emission pada 2050. Kecuali, bila pemerintah bekerja dengan sangat keras dalam menyiapkan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan. Selain itu, model bisnisnya sudah terbentuk. EI

Berita Terkait