
Rencana pemerintah pusat untuk membangun proyek infrastruktur jalan, pelabuhan, dan bandara belum bisa direalisasikan sepenuhnya. Sekalipun perencanaan dan biaya setiap proyek dianggap sudah matang, tahap realisasinya masih saja berjalan di tempat. Hal itu dikemukakan Ketua Staf Ahli Wakil Presiden RI, Sofyan Wanan di dalam bedah buku “Megastruktur Indonesia: Program Masif Pembangunan Infrastruktur 2015-2019” di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) – Jakarta (3/9).
Menurut Sofyan, kemandekan realisasi pembangunan infrastruktur tidak hanya terjadi pada pemerintahan sekarang, tetapi sejak zaman dimulainya Reformasi tahun 1998.
“Sejak dimulainya reformasi tahun 1998, pemerintah tidak melakukan terobosan-terobosan penting di bidang infrastruktur. Zaman pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat minim pembangunan infrastruktur. Jalan tol zaman SBY hanya berkisar 100-200 km per tahun. Sedangkan Cina pada saat itu mencapai 5.000-an km per tahun,” ujar Sofyan.
Menurut Sofyan, pemerintah harus berani melakukan pendobrakan.
“Pemerintah harus berani mendobrak! Tidak cukup sebatas diskusi dan rencana. Selama ini sudah banyak diskusi dan rencana, tapi lebih banyak yang tidak jalan”, tambahnya.
Bahkan menurut Sofyan, meskipun pemerintah punya uang, tetap saja tidak menjamin bahwa pembangunan infrastruktur bisa jalan. Penyebab paling utama adalah UU kita saling mengunci satu sama lain.
“UU kita saling mengunci dan bertolak belakang satu sama lain,” jelas Sofyan.
Sofyan mengemukakan bahwa maksud UU itu bertolak belakang satu sama lain adalah untuk melemahkan kepercayaan publik pada pemerintah.
Untuk mengubah UU yang bertolak belakang itu, perlu komitmen pemerintah dan DPR. Dan perubahan demikian membutuhkan waktu minimal dua tahun.