Uji Tipe dan Uji Berkala Alat Berat Jamin Kepastian Hukum
Pemerintah menilai uji tipe dan uji berkala terhadap peralatan berat justru menjamin kepastian hukum.

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang diajukan tiga perusahaan kontraktor selaku pihak pemohon, yakni PT. Tunas Jaya Pratama, PT. Multi Prima Universal dan PT. Marga Maju Japan beberapa waktu lalu.
Sidang yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, Senin (23/2), mendengarkan keterangan dan tanggapan DPR RI dan Pemerintah terkait aturan pengenaan pajak dan landasan konstitusional status alat berat sebagai kendaraan bermotor sebagaimana yang diajukan para pemohon.
Komisi III DPR RI dalam keterangan tertulisnya menyatakan, “Sesuai bunyi Pasal 48 ayat (1) UU LLAJ menyebutkan bahwa setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Uji berkala yang dilakukan terhadap alat berat sudah tepat. Karenanya, yang dikenakan persyaratan teknis dan laik jalan yakni semua jenis kendaraan bermotor termasuk alat berat yang dioperasikan di jalan.
“Sedangkan kategori alat berat yang tidak dioperasikan di jalan sebagaimana pengajuan pemohon, termasuk kategori alat produksi. Atas dasar itu, DPR menilai Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c dari UU LLAJ, sudah tepat dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Juga tidak terdapat kerugian secara konstitusional serta melanggar prinsip persamaan dan keadilan sebagaimana yang dialami para pemohon,” demikian kata Kuasa Hukum DPR, Arsul Sani.
UU LLAJ jamin kepastian hukum
Sementara tanggapan pihak pemerintah yang mengatasnamakan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan dan Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri, Badrodin Haiti, sebagaimana dalam keterangan tertulis yang disampaikan Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi, Umar Aris, menyatakan, penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c dari UU LLAJ sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau melanggar hak konstitusional dan melanggar prinsip persamaan dan keadilan.
“Justru Pasal ini telah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pengelola alat berat. Tanggapan pemerintah, bahwa alasan penempatan alat berat sebagai kendaraan bermotor yang menimbulkan ketidakjelasan dan kerugian secara konstitusional sebagaimana diajukan para pemohon, sama sekali tidak beralasan. Objek pengajuan para pemohon sama sekali tidak terdapat hak konstitusional yang dirugikan,” demikian Aris.
Selain itu pemerintah juga menjelaskan, pengujian terhadap Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c dari UU LLAJ, tidak bisa dijadikan objek pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, hal yang diujikan ke MK hanya penjelasan atas norma, bukan pasal. Karenanya, objek pengujian oleh para pemohon bukanlah konstitusional review, melainkan konstitusional complain sehingga tidak melanggar konstitusi hukum. Para pemohon dalam hal ini, tidak memiliki kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga objek pengujian tidak bisa diterima,” jelas Aris.
Pemerintah menegaskan, kendaraan alat berat tidak digunakan seperti layaknya kendaraan bermotor pada umumnya. Sehingga wajar apabila alat berat yang dioperasikan harus melakukan pengujian berkala dengan cara meregistrasi kendaraan bermotor sebagai upaya perlindungan hukum guna mewujudkan keselamatan dan keamaan dalam berlalu lintas di jalan sesuai pasal 49 ayat (1) UU LLAJ. Sedangkan alat berat seperti bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), loader, forklift, excavator, dan crane yang tidak dioperasikan di jalan, tidak perlu dilakukan pengujian. Dengan demikian, pemerintah menilai pemohon telah keliru menafsirkan Pasal 47 ayat 2 huruf e karena sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Justru, pasal itu telah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pengelola alat berat.
“Dengan adanya ketentuan Pasal ini, para Pemohon telah mendapatkan hak atas pengakuan jaminan dan perlakuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 di mana alat berat diakui sebagai kendaraan bermotor khusus yang memiliki perlindungan hukum yaitu dengan tidak diwajibkan melakukan pengujian sebagaimana terdapat dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang LLAJ,” pungkasnya.
Untuk diketahui, dasar permohonan dalam Perkara ini diajukan oleh tiga perusahaan kontraktor, yaitu PT. Tunas Jaya Pratama, PT. Multi Prima Universal, dan PT. Marga Maju Japan. Dalam pokok permohonannya, para pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ yang berbunyi: “yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: (c). alat berat: bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, exvacator, dan crane”. UU LLAJ menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dan disamakan dengan kendaraan bermotor.
Menurut Pemohon, alat berat jika dilihat dari fungsinya, merupakan alat produksi. Berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai alat transportasi baik barang maupun orang. Dengan kata lain, secara fungsional, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi alat transportasi barang maupun orang.
Para Pemohon sebagai pemilik atau pengelola alat-alat berat berupa crane, mesin gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, dump truck, wheel loader, bulldozer, tractor, forklift, dan batching plant. Jenis alat-alat berat yang disebutkan digunakan sebagai alat produksi dalam aktivitas usahanya. Dengan menyamakan alat berat dengan kendaraan bermotor, maka alat berat diharuskan mengikuti uji tipe dan uji berkala seperti halnya kendaraan bermotor.
Pemohon berkeberatan, persyaratan uji tipe dan uji berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh alat berat karena karakteristik alat berat berbeda dengan kendaraan bermotor. Alat berat diharuskan memiliki perlengkapan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam UU LLAJ. Padahal alat berat yang dimiliki para Pemohon tidak memiliki alat pendongkrak dan pembuka roda dikarenakan alat berat tidak memiliki ban.
Selain itu, alat berat juga harus diregistrasikan dan diidentifikasi seperti halnya kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU LLAJ yang pada pokoknya kendaraan bermotor diharuskan diregistrasi guna mendapatkan sertifikat uji tipe, padahal alat berat tidak dapat dilakukan uji tipe.


