
Kementrian Perdagangan menyatakan akam memberi lampau hijau peninjauan kembali terhadap kebijakan izin impor barang modal bukan baru (bekas), khususnya alat berat yang dinilai telah merugikan produsen dalam negeri.
“Kebijakan izin impor barang modal bekas, khususnya produk alat berat, berefek negatif terhadap sektor konstruksi dalam negeri yang semestinya dioptimalkan dalam memacu percepatan pembangunan infrastruktur dalam negeri termasuk di berbagai daerah. Investasi dan produksi alat berat dalam negeri seharusnya memperkuat daya saing usaha konstruksi baik skala kecil, menengah maupun besar,” kata Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, di kantor Kemendag, jalan Medan Merdeka Timur, Selasa (16/06/2015)
Terkait kebijakan impor ini, Menteri Gobel menilai perlu ada ruang peninjauan kembali dengan beberapa kementrian terkait seperti Kementrian Perindustrian dan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera)
“Kementrian Perindustrian perlu mengajukan keterangan tertulis terkait dengan efek negatif dari kebijakan impor barang modal terutama alat berat. Hal yang sama juga berlaku untuk Kementrian PU-Pera terutama dalam mengoptimalkan produksi alat berat dalam negeri untuk berkontribusi dalam merealisasikan berbagai proyek infrastruktur baik di pusat maupun di daerah-daerah,” katanya.
Menteri Gobel menegaskan bahwa ketentuan impor barang modal bukan baru (bekas) tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/MDag/PER/12/2013 dan diteken oleh Menteri Perdagangan sebelumnya, Gita Irawan Wirjawan.
“Peraturan dan kebijakan bersifat fleksibel untuk ditinjau dan direvisi sejauh tidak berdampak positif untuk keberlanjutan usaha produksi alat-alat berat konstruksi dalam negeri yang sudah jauh berkembang dan memiliki daya saing dengan barang-barang impor,” tandasnya.
Paket Kebijakan Kontruksi
Sebelumnya, Pemerintah melalui kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyiapkan beberapa paket kebijakan bagi para pelaku usaha jasa konstruksi nasional.
“Beberapa paket kebijakan yang digalang Kementrian PU-Pera mencakup rantai pasok jasa konstruksi, segmentasi pasar usaha jasa konstruksi serta pemaketan pekerjaan konstruksi,” kata Sekretaris Jenderal Kementrian Pu-Pera, Taufik Widjoyono, di kantor PU, Senin (15/06/2015).
Taufik menjelaskan bahwa paket kebijakan terkait rantai pasok usaha jasa konstruksi antara lain dengan mendorong usaha jasa kontruksi yang bersifat umum untuk usaha yang spesialis. Usaha spesialis yang dimaksud yakni keahlian dalam teknologi tertentu yang dapat menyelesaikan pekerjaan konstruksi. Terkait hal ini, pemerintah juga mendorong terciptanya kontraktor/konsultan tingkat lokal di daerah sehingga semakin berkompeten dan professional dan dapat bersaing menjadi pelaku pembangunan yang handal di daerah.
Sementara kebijakan segmentasi pasar yakni terkait pengaturan paket pekerjaan konstruksi dengan nilai lebih dari Rp 2,5 miliar sampai dengan Rp 5 miliar dipersyaratkan hanya untuk pelaksanaan konstruksi kualifikasi usaha menengah yang kemampuan dasarnya telah memenuhi syarat.
Sedangkan kebijakan terkait pemaketan pekerjaan yakni “regrouping” paket pada tahun anggaran 2016 menjadi 50 persen dari jumlah paket tahun anggaran 2015.
“Paket kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan penyerapan anggaran serta pertumbuhan ekonomi melalui usaha konstruksi. Para pelaku usah konstruksi harus menjadi tolok ukur kemajuan pembangunan selain faktor anggaran dan ketersediaan peralatan yang memadai,” pungkas Taufik.


