
Pertumbuhan industri konstruksi global diperkirakan akan melambat pada tahun 2023 ini. Diperkirakan pertumbuhannya hanya 0,86 persen. Kecuali China, industri konstruksi akan mengalami kontraksi hingga 0,1 persen karena pelemahan ekonomi plus tantangan khusus industri konstruksi global itu sendiri yakni meningkatnya harga material konstruksi dan tingginya upah tenaga kerja, menurut laporan GlobalData, sebuah perusahaan data dan analisis terkemuka, dikutip Minggu (4/5).
Dalam laporan terbarunya yang berjudul “Construction Market Size, Trends and Growth Forecasts by Key Regions and Countries, 2023-2027”, GlobalData menyebutkan bahwa industri konstruksi global mengalami pertumbuhan 2,1 persen pada 2022. Angka ini turun dari 3,1 persen pada tahun sebelumnya. Perlambatan tersebut mencerminkan adanya tantangan yang begitu hebat di hampir semua pasar di seluruh dunia akibat tingginya inflasi dan kebijakan pengetatan moneter yang diambil banyak negara sehingga membuat arus investasi juga mengalami perlambatan.
Kecuali China, yang mengalami pertumbuhan hingga 5,5 persen tahun lalu, pasar konstruksi global hanya mengalami pertumbuhan 0,6 persen pada 2022. Penurunan paling tajam terjadi di Amerika Serikat. Aktivitas konstruksi di negara itu mengalami penurunan tajam sehingga menyeret negara-negara lain juga ikut mengalami perlambatan, termasuk kawasan Eropa. Padahal pasar utama Eropa sudah mengalami krisis energi.
“Perkiraan perlambatan pertumbuhan industri konstruksi pada 2023 berarti juga mempersiapkan diri menghadapi menurunnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebab Penurunan ekonomi Eropa diperkirakan menyusut 2,8 persen, Amerika Utara rontok 0,9 persen, dan Australia jatuh 1,9 persen,” kata analis GlobalData, Danny Richards.
Dia meneruskan, “Pertumbuhan di negara-negara berkembang akan tetap positif, tetapi tetap saja mengalami perlambatan menjadi 2,4 persen dari posisi 4,6 persen pada 2022. GlobalData memperkirakan industri konstruksi global baru akan kembali tumbuh pada 2024. Itu pun dengan asumsi bahwa ekonomi global mengalami kestabilan dan bertumbuh hingga 3,0 persen pada 2024 dan mencatatkan pertumbuhan rata-rata 4,2 persen selama 2023-2027.”
Outlook (prakiraan) industri konstruksi di Eropa Barat lebih suram lagi. Hal itu terjadi karena negara-negara di kawasan itu dihantam oleh menurunnya kepercayaan para investor akibat kekhawatiran terjadinya resesi ekonomi dan tingginya inflasi. Sejumlah pasar di Eropa Barat rontok pada 2022. Kerontokan paling parah terjadi di Yunani dan Italia. Untunglah kedua negara ini masih ditopang oleh keuangan Uni Eropa. Sementara negara-negara lain seperti Jerman mengalami kontraksi hingga 2,2 persen.
Bahkan, menurut GlobalData, sebagian besar pasar akan sangat menderita pada 2023 karena dihantam oleh melemahnya pertumbuhan investasi dan melonjaknya harga sejumlah material pokok konstruksi serta harga energi yang sangat tinggi. Meskipun sesungguhnya tren ini sebenarnya sudah diperkirakan sejak awal karena merupakan dampak perang Ukraina versus Rusia. Perang ini mengganggu rantai pasok dari kedua negara tersebut.
“Sebetulnya stabilitas makro ekonomi sudah mengalami penurunan pertumbuhan di Amerika Utara. Yang paling terpukul di sana adalah sektor hunian. Tekanan inflasi memang mulai sedikit surut dan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat menurunkan suku bunga akan membantu memulihkan pertumbuhan. Outlook ini diperkuat oleh prakiraan yang lebih kuat untuk konstruksi infrastruktur di Amerika Serikat,” kata Richards.
Kondisi yang sama, menurut GlobalData, terjadi di kawasan Asia Timur. Aktivitas konstruksi di seluruh kawasan tersebut pada tahun ini terus mengalami pelemahan. Di kawasan ini, sektor real estate di China mengalami penurunan paling signifikan. Karena itu GlobalData merevisi proyeksi mereka tentang pertumbuhan industri konstruksi di kawasan Asia Timur dari sebelumnya di angka 3,8 persen menjadi hanya 2,4 persen pada 2023 ini.
Laporan GlobalData ini menyebutkan, pertumbuhan sektor industri konstruksi di kawasan Asia Timur pada 2024 hanya menjadi 3,3 persen. Proyeksi lebih optimistis ini muncul karena tekanan pada sektor real estate di China mulai berkurang.
“Pertumbuhan sektor konstruksi di China diperkirakan melambat ke angka 2,7 persen pada tahun ini. Itu yang memberatkan pertumbuhan secara regional. Sebab perlambatan di China juga akan berpengaruh pada negara lain yang masih mengalami pertumbuhan. Melambatkan aktivitas di sektor hunian di China juga berdampak signifikan pada aktivitas konstruksi seluruh kawasan. Investasi real estate di China mengalami penurunan 8,4 persen tahun lalu dan terus melambat hingga 5,8 persen hingga kuartal pertama tahun ini. Investasi real estate diperkirakan kami turun pada tahun ini, meskipun penurunannya tidak sebesar pada 2022,” kata Ekonom GlobalData, Willis Rooney.
Risiko lebih jauh dari perkiraan untuk kawasan Asia Timur ini, menurut GlobalData, sudah termasuk melemahnya pertumbuhan industri konstruksi di Korea Selatan. Pelemahan di negara ini terjadi karena melambatnya permintaan dari luar dan minimnya pertumbuhan konsumsi dalam negeri. Kondisi ini menghambat tumbuhnya investasi baru untuk jangka pendek.
“Industri konstruksi di Korea Selatan tercatat mengalami penurunan pertumbuhan 0,2 persen tahun lalu, setelah turun secara terus menerus dalam empat tahun terakhir. Pertumbuhan industri konstruksi terpukul oleh kebijakan bunga tinggi yang memicu munculnya inflasi, serta minimnya dukungan keuangan dari Bank Korea. Belum lagi melambatnya pertumbuhan ekonomi global terutama pada permintaan konstruksi-konstruksi baru. Faktor-faktor ini akan terus memberatkan aktivitas konstruksi di Korea Selatan tahun ini. Karena itu pertumbuhan sepanjang tahun ini diperkirakan hanya 0,8 persen,” kata Rooney. Sumber: GlobalData.


