Equipment APP.
back to top
Friday, November 7, 2025
spot_img
More
    HomeEquipmentAlat Berat Bukan Kendaraan Bermotor

    Alat Berat Bukan Kendaraan Bermotor

    alat berat
    Armda alat berat yang beroperasi di usaha tambang batubara. (DOk. EI)

    Keadilan tidak jatuh dari langit, tetapi harus diperjuangkan secara konsisten dengan sepenuh hati, dan terkadang dengan penuh pengorbanan. Ditolak sekali, bahkan berkali-kali tidak menjadi alasan untuk patah semangat. Sebaliknya, penolakan demi penolakan justru menjadi pemicu untuk berjuang lebih gigih lagi. Sebab, kalau tidak dilawan secara gigih dan sistematis, ketidakadilan itu akan menjadi arus deras yang liar dan menerjang sesuka hati siapapun yang menghadangnya, termasuk mereka yang berada di pihak yang sungguh-sungguh benar.

    Kegigihan berbuah manis, itulah yang dirasakan oleh masyarakat alat berat Indonesia, khususnya ASPINDO (Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia) dan beberapa asosiasi lainnya ketika mereka selama bertahun-tahun tidak pernah berhenti berjuang menentang keputusan yang mengkategorikan alat-alat berat  sebagai kendaraan bermotor. Adalah ASPINDO bersama beberapa asosiasi terkait lainnya (HINABI, PAABI dan APPAKSI) yang tidak pernah mengalah pada ketidakadilan yang mengerogoti bisnis mereka selama ini.

    Kisruh itu mulai menggeliat sejak pertengahan tahun 1990-an ketika Indonesia makin giat membangun jalan tol dan proyek-proyek konstruksi lainnya. Krisis moneter 1997/98 membuat laju bisnis alat-alat berat konstruksi melambat, bahkan sampai terpuruk. Isu-isu mengenai berbagai pungutan atas mesin-mesin produksi ini pun tenggelam bersama krisis itu. Persoalan ini baru muncul lagi saat bisnis tambang, utamanya batu bara dan mineral, menjadi primadona. Berbeda dengan proyek-proyek konstruksi yang pertumbuhan kebutuhan alat-alat baru relatif datar, permintaan alat berat di sektor tambang justru sangat tinggi dan depresiasinya lebih cepat. Usaha tambang pun dalam seketika menjelma menjadi pasar empuk alat-alat berat, dan terjadi mobilisasi alat berat dalam jumlah besar ke lokasi-lokasi tambang.

    Rupanya serbuan ribuan unit alat berat itu menggoda pemerintah daerah di lokasi-lokasi tambang untuk menjadikannya sebagai obyek pungutan (pajak). Menurut catatan ASPINDO, sejak tahun 2002 sering terjadi perselisihan antara pemerintah daerah dengan para pengusaha pengguna/pemilik alat-alat berat di sektor pertambangan, terutama di daerah Kalimantan. Salah satu pemicunya adalah penafsiran terhadap Undang-undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah. Peluang tersebut dibuka oleh terbitnya Undang Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tahun 2009.

    Baca Juga :  TONLY Dorong Penggunaan Teknologi Remote Control di Industri Tambang

    Selain itu, dalam Undang-undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ), alat berat didefinisikan sebagai kendaraan bermotor. Artinya, alat berat dicantumkan sebagai bagian dari kendaraan bermotor. Hal itu juga berarti pemilik alat berat memiliki kewajiban yang sama dengan pemilik kendaraan bermotor untuk membayar pajak kendaraan bermotor (PKB), melakukan uji tipe kendaraan bermotor hingga mengurus bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB).

    ASPINDO dan asosiasi-asosiasi terkait lainnya menilai pemerintah salah kaprah dengan mengelompokkan alat berat dalam kategori kendaraan bermotor. Sebab alat berat jelas-jelas merupakan mesin produksi (barang modal) serta sangat berbeda fungsi dan perannya dengan kendaraan bermotor yang merupakan alat transportasi. Itu sebabnya mereka menentang regulasi-regulasi yang bertumpu di atas pemahaman yang keliru tersebut.

    Sejak tahun 2002, mereka melakukan grilya ke berbagai instansi terkait untuk mengembalikan definisi alat berat pada posisi yang sebenarnya, karena jika dibiarkan akan sangat merugikan para pelaku usaha dan menimbulkan permasalahan yang berdampak bagi kelangsungan bisnis. Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah menggugat UU No.28/2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah keberatannya ditolak oleh pemerintah dan DPR pada tahun 2002. Namun, gugatan ASPINDO dkk mental di meja para hakim MK. Bahkan MK menegaskan bahwa penerapan pajak pada alat berat sebagai kendaraan bermotor telah sejalan dengan Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang mengatur definisi alat berat.

    Tidak kehabisan akal, pada Desember 2014, ASPINDO kembali lagi ke meja hakim MK untuk melakukan uji materi atas UU No.22/2009 tentang LLAJ karena UU ini yang menyatakan alat-alat berat termasuk kendaraan bermotor dalam kelompok kendaraan khusus. Setelah melakukan beberapa kali persidangan, akhirnya hakim MK mengabulkan gugatan anggota ASPINDO dan menyatakan alat berat bukan kendaraan bermotor melalui putusan No. 3/2015 yang diterbitkan pada 31 Maret 2016. Konsekuensinya, semua ketentuan dan pengaturan alat berat di UU LLAJ yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Baca Juga :  SDLG, Terbaik di Cina Nomor 1 di Indonesia

    Menurut MK, alat berat adalah kendaraan dan/atau peralatan yang digerakkan oleh motor, namun bukan kendaraan bermotor dalam pengertian yang diatur oleh UU LLAJ. Implikasi putusan ini berarti semua aturan persyaratan bagi kendaraan bermotor, seperti uji kir/tipe, berkala, termasuk pengenaan pajak tidak berlaku bagi alat berat.

    “Bukannya kita tidak mau membayar pajak, tetapi bukankah suatu tindakan yang bijak bila menempatkan pajak kendaraan bermotor pada alat berat? Kami bukan tidak mau membayar pajak, tetapi kami cuma ingin diperlakukan adil,” ungkap Ketua Umum ASPINDO, Tjahjono Imawan, saat jumpa pers di Jakarta, Senin (4/4). “Alat berat adalah alat produksi. Pemerintah harusnya memungut pajak dari hasil produksi, bukan alat produksinya,” pungkasnya.

    RELATED ARTICLES

    Most Popular

    Recent Comments