Equipment APP.
back to top
Sunday, October 12, 2025
spot_img
More
    HomeFeatureGelombang PHK Di Tambang Mineral

    Gelombang PHK Di Tambang Mineral

    Kebijakan hilirisasi mineral mulai berdampak terhadap performa industri ini. Sejak pemberlakuan kebijakan larangan ekspor material mentah pada awal 2014, korbannya terus berjatuhan. Makin banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebagian dari mereka terpaksa menghentikan kegiatan produksi.  Aturan larangan ekspor itu menimbulkan perubahan drastis, meski sudah diperingatkan dari jauh hari. Pemerintah sejak beberapa tahun lalu sudah memerintahkan para pelaku industri tambang mineral untuk melakukan pengolahan dan pemurnian sebelum diekspor. Artinya, mereka harus membangun smelter. Namun, karena ketidaktegasan, perintah itu diabaikan. Ketika jelang akhir tahun lalu Pemerintah dengan tegas memutuskan untuk menghentikan ekspor “tanah dan air”, kebijakan itu menimbulkan guncangan. Membangun smelter memang bukan urusan enteng dan bukan investasi yang murah. Dibutuhkan waktu dua hingga tiga tahun, bahkan lebih untuk mendirikan pabrik pengolahan material tambang tersebut. Sementara jumlah smelter yang ada saat ini belum banyak. Sehingga dapat dipastikan bahwa derita perusahaan-perusahaan tambang mineral itu masih panjang, paling tidak dua hingga tiga tahun ke depan. Dalam kondisi sesulit itu, tidak ada pilihan lain selain menghentikan aktivitas produksi. Menghentikan aktivitas produksi berarti juga perusahaan harus merumahkan karyawannya. Itulah konsekwensi logis yang telah dan akan terus dalam masa transisi ini. Semuanya tergantung pada kebijakan perusahaan dengan mempertimbangkan kemampuannya bertahan. Ada perusahaan yang mungkin belum merumahkan karyawannya tetapi mulai mengurangi jam kerja yang akan berpengaruh pada pendapatan karyawan. Karyawan pun senantiasa hidup dalam ketidakpastian menunggu kapan mereka dirumahkan.Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang melakukannya dan kebanyakan dari sektor tambang nikel, bauksit, pasir besi dan bijih besi. Data Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Pasir Besi Indonesia (APB3I) misalnya saat ini sudah 40.000 tenaga kerja yang dirumahkan. Jumlah ini berasal dari 51 perusahaan yang menjadi anggota asosiasi. Salah satunya PT Harita Prima Abadi Mineral yang telah memberhentikan 4.500 karyawan dari keseluruhan 4.700 orang.Kemudian PT Central Omega Resources,Tbk, pemilik konsesi tambang nikel di Morowali dan Konawe Utara ini telah menyetop kegiatan penambangan. Ada kurang lebih 3000 orang karyawannya pun telah dirumahkan. “Aktivitas penambangan praktis berhenti total sehingga semua karyawan sudah kita rumahkan. Dari 3000-an orang karyawan perusahaan, saat ini yang tersisa kurang lebih 50-an orang untuk kegiatan eksplorasi dan pengamanan asset,”terang Direktur Utama PT Central Omega Resources Kiki Hamidjaja. Perusahaan berjanji untuk kembali merekrut tenaga kerja ini ketika smelter yang saat ini sedang dibangun sudah mulai beroperasi. “Ketika smelter nikel perusahaan mulai beroperasi dan kegiatan penambangan mulai berjalan,”terang Kiki. Namun ini tentu butuh waktu yang tidak singkat.Perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia ini memang sedang membangun pabrik pengolahan nikel menjadi Nickel Pig Iron (NPI) di Morowali Utara. Direncanakan pada tahun 2016 pabrik dengan kapasitas 320.000 ton NPI per tahun ini mulai produksi. Nilai investasinya mencapai US$300 juta. Tidak hanya itu perseroan juga melakukan diversifikasi usaha dengan mengakuisisi tambang bijih besi di Kabupaten Singkep, Kepulauan Riau. Pemilihan masuk ke tambang bijih besi dilakukan dengan membeli saham PT Citra Sindo Utama karena bijih besi masih diperkenankan ekspor dalam bentuk konsentrat. Artinya selama perusahaan tidak dapat mengekspor nikel, perseroan akan mengekspor konsentrat bijih besi mulai April 2014. Meski dibebani bea keluar, perusahaan yang beberapa waktu lalu perdagangan sahamnya dihentikan terkait isu PHK karyawan, besaran bea keluar sebesar 20 persen di tahun 2014 masih ekonomis. “Kalau masih di angka 20 persen menurut hitungan kita masih ekonomis. Tetapi kalau lebih dari 40 persen di tahun 2016 buat kami sudah tidak ekonomis tetapi saat itu diharapkan pabrik pengolahan nikel sudah beroperasi,” terang Direktur PT Central Omega Resources,Tbk Ciho D Bangun. Menurut Ciho pemutusan kerja merupakan hal yang tidak terhindarkan karena aktivitas penambangan memang telah berhenti. Sementara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara menyebut angka 33.400 orang yang bakal dirumahkan. Jumlah ini kemudian dirinci dari beberapa komoditi yakni Bauksit sebanyak 12.400 orang, nikel sebanyak 14.000 orang, pasir/ bijih besi sebanyak 5.000 orang serta mangan sebanyak 2.000 orang. Sementara kalangan pengusaha sampai saat ini menyebutk jumlah karyawan yang sudah diPHK mencapai 55.000 orang. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Mineral (Apemindo) Agus Suhartono saat dimintai tanggapannya mengaku PHK memang harus terjadi karena perusahaan bisa produksi tetapi tidak bisa menjualnya. Menurut Agus sejauh ini pemerintah lalai dalam mengantipasi PHK massal  yang salah satunya karena pemerintah tidak mempunyai peta jalan yang detail dan jelas tentang kebijakan hilirisasi. “Mestinya begitu UU Minerba terbut keluarkan, PP dan Permen ESDM serta peta jalan sudah jelas,” tandas Agus. Dalam salah satu kesempatan Kasubdit Perdagangan dan Produksi Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hersono Wibowo mengatakan pelarangan ekspor bijih relatif tidak berdampak untuk komodit emas, perak, timah, tembaga, timbal dan seng. Akan tetapi pelarangan ekspor bijih bauksit, bijih nikel, bijih besi, pasir besi,dan bijih mangan dapat menimbulkan dampak ekonomi, sosial, tenaga kerja ,dan keamanan di sekitar wilayah IUP Operasi Produksi mineral.Namun ini hanya terjadi sementara selama masa transisi selama 2 sampai 3 tahun ke depan. “Begitu smelter berdiri akan ada penyerapan tenaga kerja lagi,” ujarnya. Namun kembali lagi bagaimana Pemerintah mempersiapkannya karena tuntutan ketrampilan tenaga kerja sudah berbeda. Dibutuhkan pelatihan keterampilan yang tepat dan peningkatan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan saat itu. Jika tidak harapan tersebut mungkin hanya menjadi mimpi.Di tempat lain jika ini dilaksanakan maka akan membawa manfaat yang lebih besar termasuk dari sisi transfer pengetahuan dan teknologi dimana kita semakin memperdalam pengetahuan teknis dan meningkatkan tambah serta daya saing Indonesia khusus di kegiatan pertambangan hilir yang akan menyebabkan ekspor produktif. @

    Baca Juga :  Teknologi Kubota untuk Dongkrak Produksi Pangan
    RELATED ARTICLES

    Most Popular

    Recent Comments