Untuk mempercepat hiliriasi batu bara, pemerintah membebaskan perusahaan-perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi dari kewajiban untuk membayarkan royalti.

Tampaknya era kejayaan batu bara akan kembali terjadi. Walaupun dalam jangka pendek harga si emas hitam ini fluktuatif sejalan dengan permintaan di pasar global, tetapi kini pemerintah Indonesia sedang giat mendorong proses hilirisasi batu bara yang membuka kesempatan batu bara sebagai sumber energi tidak hanya untuk sektor kelistrikan – sebagaimana yang sudah terjadi selama ini – tetapi juga untuk menggantikan LPG yang banyak digunakan rumah tangga di Indonesia.
Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batu bara yang cukup besar. Berdasarkan data Desember 2019 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya batu bara Indonesia sebesar hampir 150 miliar ton. Sedangkan cadangan sebesar 37,45 miliar ton. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan 99,8% sumber daya dan cadangan batu bara tersebut berada di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Dari sisi kualitas, ia menambahkan, 90% batu bara Indonesia merupakan batu bara berkalori rendah (low rank coal).
Batu bara saat ini masih menjadi andalan pasokan energi nasional untuk menjaga ketahanan dan kemandirian energi. Mengutip statistik kelistrikan tahun 2019, dari 247.394,09 GWh energi listrik yang dihasilkan tahun 2019, sebesar 70,53% dihasilkan dari batu bara. Sementara Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 4,68% dan gas alam sebesar 24,79%.
“Pada tahun 2020 pemanfaatan batu bara domestik ditargetkan mencapai 155 juta ton atau 28,2% dari target produksi sebesar 550 juta ton, meningkat 12,3% dari realisasi DMO tahun 2019 yang sebesar 138 juta ton dengan produksi 616 juta ton,” ujar Arifin saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI jelang akhir tahun 2020.
Arifin menambahkan, pemanfaatan batu bara dalam negeri sampai dengan Oktober 2020 baru mencapai 109 juta ton dari tingkat produksi 459 juta ton. Akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan konsumsi listrik menurun, ia memperkirakan pemanfaatan batu bara domestik pada tahun ini lebih rendah dari yang direncanakan. “Dari target 155 juta ton (DMO) itu mungkin sekitar 91% saja yang memang bisa dicapai. Tetapi pada tahun 2021 kita melihat sekarang demand batu bara internasional sudah meningkat, harga sudah di atas 60 dollar kembali. Jadi, kami melihat adanya prosepek yang cukup baik untuk terjadinya recovery,” ujarnya.
Pemanfaatan batu bara domestik selama ini mayoritas diserap oleh PT PLN (Persero). Sebagai gambaran dari DMO 155 juta ton tahun ini, yang dikonsumsi PLN diperkirakan sebesar 109 juta ton. Sisanya adalah industri pengolahan dan pemurnian sebesar 16,5 juta ton, industri pupuk sebesar 1,7 juta ton, industri semen sebesar 14,5 juta ton, dan industri tekstil sebesar 6,5 juta ton, serta industri kertas sebesar 6,6 juta ton.
Arifin mengatakan kebutuhan batu bara di dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Pemeritah memperkirakan tahun 2040 nanti, kebutuhan batu bara di dalam negeri mencapai 277 juta ton.

Hilirisasi menjadi spirit Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara. Spirit ini kemudian dilanjutkan dalam Undang-Undang No.3 tahun 2020 yang merupakan revisi dari Undang-Undang No.4 tahun 2009.
Bila di sektor mineral sejak tahun 2012 lalu pemerintah menggaungkan hilirisasi, kini hal yang sama juga sedang dilakukan pada sektor batu bara. Arifin mengungkapakan saat ini terdapat sejumlah program hilirisasai batu bara yang sedang dilakukan oleh beberapa perusahaan. Beberapa proyek tersebut antara lain konversi coal to methanol yang dilakukan oleh dua anak usaha PT Bumi Resources Tbk, yaitu PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia serta dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia, anak usaha dari PT Adaro Energy Tbk.
Proyek coal to methanol milik KPC yang berlokasi di Bengalon, Kalimantan Timur saat ini sedang dalam finalisasi studi kelayakan (FS) dan skema bisnis. Proyek KPC ini ditargetkan selesai pada 2024 dan akan menghasilkan 1,8 juta ton metanol per tahun dan menyerap 5 juta hingga 6,5 juta ton batu bara per tahun.
Selain konversi coal to methanol, Arifin mengatakan proyek hilirisasi batu bara yang lainnya adalah coal to Dimethyl Ether (DME) yang dilakukan oleh PT. Bukit Asam Tbk. Proyek ini merupakan kerja sama antara Bukit Asam dengan Pertamina dan Air Products and Chemicals, Inc. (USA) sebagai investor.
Proyek yang berlokasi di Muara Enim, Sumatera Selatan ini ditargetkan selesai pada 2025 dan akan menghasilkan 1,4 juta ton DME (dimethyl ether) per tahun. Batu bara yang terserap untuk kapasitas produksi tersebut sebesar 5,6 juta ton batu bara per tahun.
Mengutip keterangan resmi PT Bukti Asam Tbk, DME akan digunakan sebagai alternatif pengganti LPG yang angka impornya terus membengkak setiap tahun. Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, impor LPG pada 2020 telah mencapai 77,63% dari total kebutuhan nasional sebanyak 8,81 juta ton. Tanpa upaya hilirisasi batu bara, rasio angka impor LPG bisa naik menjadi 83,55% dari total kebutuhan 11,98 juta ton di 2024.
PTBA menargetkan kesepakatan bisnis kerja sama pengembangan proyek gasifikasi dapat ditandatangani pada November 2020 bersama dengan PT Pertamina (Persero) dan Air Products and Chemicals, Inc. (USA) sebagai investor. Persiapan konstruksi proyek Coal to DME ini akan dimulai pada awal tahun 2021 dan ditargetkan pabrik beroperasi pada Triwulan-II tahun 2024. Proyek hilirisasi ini juga telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo sebagai bagian dari Proyek Prioritas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020.
Arifin mengatakan bila proyek DME ini berhasil, maka akan bisa menggantikan LPG. “Kalau nanti seluruh LPG yang 7,5 juta ton atau 8 juta ton kita bisa ganti dengan DME ini akan menyerap kurang lebih 50 juta ton tambahan batu bara yang kalori rendah,” ujarnya.
Karena itulah, Arifin mengatakan semua perusahaan PKP2B yang hendak mengajukan proses perpanjangan PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diwajibkan untuk melakukan hilirisasi dan produknya adalah methanol dan DME. Ia mengatakan ada 7 perusahaan PKP2B generasi pertama yang kontraknya berakhir pada tahun 2020 ini hingga tahun 2025. Ada pun 7 perusahaan tersebut adalah PT Arutmin Indonesia yang sudah resmi diperpanjang pada 1 November lalu; PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Bila ketujuh perusahaan ini merealisasikan rencana hilirisasinya, Arifin mengatakan total produksi DME yang dihasilkan mencapai 7,5 juta ton hingga 10 juta ton. “Kalau ini diberlakuan dan tiap perusahaan dalam 5 tahun bisa menyelesaikan proyeknya, ini dari tahun 2025 mudah-mudahan kita sudah bisa mensubtitusi LPG dengan DME. Dan selanjutnya kalau pertumbuhan perminatan DME ini akan meningkat, ini juga bisa akan memberikan konsumsi batu bara kalori rendah lebih besar lagi ke depan. Jadi prospek batu bara ini adalah sebetulnya adalah masa depan bangsa kita juga,” ujarnya.
Bahkan tidak hanya untuk LPG, Kementerian ESDM, tambah Arifin juga melihat gasifikasi batu bara juga akan menghasilkan gas sintetis yang bisa menggantikan gas alam. Karena itu, tambah Arifin bila gas alam berkurang, bisa kita isi dengan gas sintesa yang berasal dari hilirisasi batu bara.
Sebagai insentif untuk mempercepat hiliriasi batu bara ini, pemerintah membebaskan perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi dari kewajiban untuk membayarkan royalti. Arifin mengatakan royalti 0% diberikan kepada perusahaan yang investasi hilirisasinya paling tidak Rp500 miliar dan merupakan proyek yang memiliki nilai strategis.
“Kita lihat untuk program hilirisasi batu bara menjadi DME, maka yang memiliki tambang batu bara, dia diberikan royalti 0%. Karena nilai investasi untuk membuat DME ini sangat besar. Untuk kapasitas 1,5 juta ton itu bisa menyerap dana kurang lebih hampir 2 miliar dollar,” ujarnya. (EI)


