
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) nyaris tak terbentung lagi seiring melemahnya ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin lemah hingga menembus angka Rp 14.800 per dolar. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya berada di kisaran 4 persen. Selain itu harga komoditas-komoditas kini cenderung tiarap. Akibatnya, banyak perusahaan yang mengalami berbagai masalah, mulai dari omset yang turun, stok produk menumpuk, terpaksa menghentikan operasi sementara, dan bahkan merumahkan para karyawannya.
Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan bahwa telah terjadi PHK secara besar-besaran di Indonesia sepanjang tahun 2015 ini. Per September 2015 total pekerja terkena PHK mencapai 43.085 orang. Jumlah tersebut meningkat 62 persen dari catatan Kemenaker PHK per Agustus 2015, yaitu 26.506 orang.
Dari total 43.085 orang karyawan yang terkena PHK, sebanyak 10.721 atau 25 persen berasal dari Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur merupakan basis industri pertambangan batu bara. Banyak perusahaan batu bara beroperasi di sana. Hingga saat ini harga komoditas batu bara pun masih rendah. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mencatat bahwa harga batu bara acuan per Agustus 2015 masih berada di kisaran US$ 59,14/ton.
Direktur Pencegahan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Kemenaker, Sahat Sinurat dalam keterangan tertulisnya menjelaskan adanya 4 sektor penyumbang PHK terbesar yaitu batu bara, garmen, industri sepatu, dan elektronik.
Senada dengan itu, Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengungkapkan bahwa sektor terbanyak terjadinya PHK adalah industri padat karya. Industri padat karya merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti tekstil, garmen, alas kaki dan lain-lain.
“Tapi memang kebanyakan yang kena dampaknya adalah industri padat karya,” kata Saleh Husin usai rakor di kantor Kementerian Perekonomian (29/9/2015).
Berikut ini ditampilkan data-data mengenai daerah dan jumlah karyawan yang mengalami PHK. Provinsi DKI Jakarta 1.546 orang karyawan yang mengalami PHK. Akan tetapi jumlah tersebut masih dianggap kurang jika dibandingkan dengan Provinsi Banten sebanyak 7.294 orang dan provinsi Jawa Barat sebanyak 7.779 orang. Provinsi Jawa Tengah sebanyak 3.370 orang dan provinsi Jawa Timur sebanyak 5.630 orang. Karyawan yang paling banyak mengalami PHK adalah Provinsi Kalimantan Timur yang mencapai 10.721 orang. Kepulauan Riau dan Batam masing-masing 6.347 orang dan 6.347 orang. Sedangkan provinsi Sumatera Utara hanya 398 orang.
Husin menjelaskan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan kementerian tenaga kerja untuk penanganan masalah PHK tersebut. Selama ini, kata Husin, penyebab PHK terjadi karena salah manajemen, kesulitan bahan baku, hingga tak ada order atau permintaan.
Dalam keterangan tertulisnya Sahat Sinurat menyatakan pemerintah masih melakukan upaya preventif untuk mencegah PHK. Pertama, mengimbau pengusaha untuk mengefektifkan forum bipartit dan dialog di perusahaan. Kedua, meminta kepada dinas tenaga kerja provinsi, kabupaten maupun kota untuk melakukan beberapa hal yaitu mengefektifkan LKS (lembaga kerja sama) Tripartit Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Ketiga, melakukan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait. Keempat, mengefektifkan deteksi dini terjadinya PHK di daerah.
Selain itu Sinurat juga mengemukakan beberapa tips untuk mencegah PHK. Diantaranya adalah mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, mengurangi shift, membatasi atau menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja dan hari kerja, meliburkan pekerja, dan tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya.
Sinurat menambahkan bahwa PHK juga bisa diatasi dengan beberapa kebijakan seperti menyusun program pelatihan keterampilan, alih profesi, dan kewirausahaan bagi pekerja. Kedua, hasil peningkatan keterampilan dan pelatihan alih profesi disalurkan melalui bursa kerja. Ketiga, penguatan program padat karya secara terprogram, terarah, dan akuntabel.


